Mas'ud Jazuli el Roudh
Cari Blog Ini
Makalah 'Ariyah
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Maraknya pertikaian
yang terjadi di masyarakat salah satu penyebabnya adalah tentang
pinjam-meminjam. Tidak heran jika sampai di bawa ke persidangan hanya
berlatarbelakang hal-hal yang sepele. Tapi, hal tersebut terjadi bias
dikarenakan factor intern dan factor ekstern. Faktor intern terjadi karena
ketidakfahaman kita akan hak-hak dan kewajiban kita terhadap barang-barang yang
di pinjamkan.
Dengan bertumpu pada
masalah diatas, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai hal-hal yang
masih di anggap rancu dalam masalah pinjam-meminjam atau yang dalam kitab-kitab
agama islam sering dikenal dengan sebutan ‘ariyah
dengan tujuan meminimalisir hal-hal yang tidak di inginkan oleh semua pihak
pada umumnya.
2. Rumusan
Masalah
a.
Apa pengertian ‘ariyah ?
b.
Apa dasar hukum ‘ariyah ?
c.
Apa saja rukun ‘ariyah ?
d.
Apa saja syarat ‘ariyah ?
e.
Apa hukum ‘ariyah ?
f.
Bagaimana status aqad ‘ariyah ?
g.
Bagaimana sifat aqad‘ariyah ?
3. Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui serta memahami dan mendalami
pengertian ‘ariyah
b.
Mengetahui serta memahami dan mendalami
dasar hukum ‘ariyah
c.
Mengetahui serta memahami dan mendalami rukun
‘ariyah
d.
Mengetahui serta memahami dan mendalami syarat
‘ariyah
e.
Mengetahui serta memahami dan mendalami
hukum ‘ariyah
f.
Mengetahui serta memahami dan mendalami status
aqad ‘ariyah
g.
Mengetahui serta memahami dan mendalami sifat
aqad‘ariyah
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
‘Ariyah
Menurut etimologi bahasa arab, al-‘ariyah berarti suatu yang
dipinjamkan, pergi dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminology
fiqih ada beberapa definisi al-‘ariyah yang
dikemukakan oleh para ulama’ fiqih
a.
Ulama’ Malikiyah dan Imam As-Syarakhsi
(w. 483 H / 1090 M), tokoh fiqih Hanafi mendefinisikann dengan ;
تملك
المنفعة بغير عوض
“pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti
rugi”
b.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
اباحة
المنفعة بلا عوض
“kebolehan
memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi”
Diantara kedua definisi di atas
terdapat perbedaan kandungan yang membawaa akibat hukum yang berbeda pula.
Misalnya, Raka meminjam kereta Sarjan, apakah Sarjan dibolehkan meminjamkan
kereta itu kepada pihak ketiga (Imron) ?. menurut definisi pertama, orang yang
meminjam kereta itu boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga karena ungkapan,
“kebebasan memanfaatkan” dalam definisi itu, mengacu pada barang yang dipinjam
bebas dipergunakan peminjan, termasuk meminjamkannya kepada pihak ketiga tanpa
ganti rugi. Sedangkan menurut definisi kedua, orang yang meminjam kereta itu
tidak boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga, karena ungkapan, “kebolehan
memanfaatkan barang orang lain”, menunjukkan bahwa yang memanfaatkan barang itu
hanya pihak peminjam.[1]
Dalam Ensiklopedia
Fiqih Umar bin Khattab RA,
العارية
هى عين الماءخوذة للانتفاء بها مع بقاء عينها بلا عوض
‘Ariyah adalah suatu yang bias diambil manfaat oleh orng lain
dengan syarat barang itu masih utuh dan tanpa imbalan.
‘Ariyah adalah amanat yang
deberikan kepada musta’ir (orang yang
meminjam), untuk itu kalau barang itu rusak, dia tidak perlu menggantinya
kecuali dia berbuat teledor sehingga menjadi rusak sebagai mana perkataan
sahabat Umar ra, “ ‘Ariyah itu
seperti titipan. Maka jika rusak, tidak perlu diganti kecuali orang yang
bersangkutan teledor.
Sebagai salah satu bentuk
transaksi, ‘ariyah bisa berlaku pada
seluruh jenis tingkatan masyarakat manusia.
‘Ariyah juga bisa berlaku pada masyarakat tradisional ataupun masyarakat
modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis transaksi ini sudah
ada dan dikenal manusia sejak manusia ada di bumi ini ketika mereka mulai
berhubungan satu sama lain.
‘Ariyah
sudah menjadi istilah teknis dalam ilmu fiqih untuk menyebutkan perbuatan
pinjam meminjam, dan sebagai salah satu aktifitas antar manusia. Dalam
pelaksanaannya, ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk
sementara waktu kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu
diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan
itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu
wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Inilah
gambaran dari perbuatan pinjam-meninjam (‘ariyah).
Oleh sebab itu, para ulama’ biasanya mendefinisikan ‘ariyah sebagai pembolehan oleh seorang untuk dimanfaatkan harta
miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan member imbalan.[2]
Para ulama’ fiqih juga membedakan
antara ‘ariyah dengan hibah, meskipun keduanya sama-sama
mengandung kebebasan memanfaatkan barang. Menurut mereka, dalam ‘ariyah unsur yang dipinjam hanyalah
manfaatnya dan peminjaman itu dalam waktu yang terbatas, sedangkan hibah
terkait dengan materi barang yang diserahkan dalam waktu yang tak terbatas.
2. Dasar
Hukum ‘Ariyah
Dasar hukum ‘ariyah terdapat dalam
surat al-Maidah ayat 2 :
وتعاونوا
على البر والتقوي
“bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan”
Dan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh al Bukhori dan Muslim dari Shafwan bin Umaiyah, yang artinya :
Rasululllah SAW meminjam kuda abi
Thalhah dan mengendarainya.
Serta hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, dan
An-Nasa’iy dari sahabat Shafwan, yang artinya :
“apakah hal ini merupakan pemakaian
tanpa izin (ghasab) wahai Muhammad ?
Rasululllah SAW menjawab : tidak, ini saya pinjam dengan jaminan”
3. Rukun
‘Ariyah
Ulama’ Hanafiyah mengatakan bahwa
rukun al- ‘ariyah itu hanya satu,
yaitu ijab (pernyataan meminjamkan) dari pihak yang meminjamkan. Adapun qabul
(pernyataan menerima dari pihak peminjam), menurut mereka, tidak menjadi rukun.
Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, “saya pinjamkan sepeda ini
kepada engkau”, maka menurut ulama’ Hanafiyah aqad itu sudah sah dan tidak
perlu disambut dengan qabul, karena aqad al-‘ariyah
aqad yang mengikat salah satu pihak. Akan tetapi menurut Zufar bin Huzail(728-774M),
pakar fiqih Hanafi, dalam aqad al-‘ariyah
diperlukan qabul.
Adapun rukun al-‘ariyah menurut jumhur ulama’ ada empat, yaitu :
a.
Orang yang meminjamkan.
b.
Orang yang meminjam.
c.
Barang yang dipinjam.
d.
Dan lafal peminjaman.
Bagi ulama’ Hanafiyah, orang yang
meminjamkan, orang yang meminjam, dan barang yang dipinjam, termasuk kedalam
syarat, bukan rukun.
4. Syarat
Al-‘Ariyah
Adapun syarat-syarat al-‘ariyah itu diperinci oleh ulama’
fiqih sebagai berikut ;
a. Orang
yang meminjam itu haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum,
karena orang yang tidak berakal itu tidak dapat dipercayai memegang amanah,
sedangkan barang al-‘ariyah ini pada
dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh
sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan aqad al-‘ariyah.
b.
Barang yang dipinjam itu bukan jenis
barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan.
Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah apabila dimanfaatkan antara
lain adalah rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak, kecuali apabila
dihabiskan atau dimusnahkan.
c.
Barang yang dipinjamkan itu harus secara
langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam aqad al-‘ariyah, pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan
dapat ia manfaatkan secara langsung pula.
d.
Manfaat barang yang dipinjam itu
termasuk manfaat mubah (dibolehkan syara’). Misalnya, apabila meminjam
kendaraan orang lain, kendaraan itu hendaknya digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk mengunjungi kerabat
dalam rangka silaturrohim atau digunakan untuk mengantarka jama’ah haji dari
suatu desa.
5. Hukum
Al-‘Ariyah
Para ulama’ fiqih berbeda pendapat
dalam menetapkan hukum asal aqad al-‘ariyah,
apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan
memanfaatkannya. Ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwasannya
al-‘ariyah merupakan aqad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang
yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari
pihak peminjam. Oleh sebab itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang
itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah
menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi
peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjamkannya
kepada orang lain.
Akan tetapi, ulama’ Syafi’iyah,
Hanabilah dan Abu Hasan Al-Karkhi (260-340H/870-952M), pakar fiqih Hanafi,
berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu
hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.oleh sebab itum pemanfaatannya
hanya terbatas pada pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada
orang lain. Namun demikian, seluruh ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak
peminjam tidak boleh menyewakannya pada orang lain.
Hasan Ayyub dalam kitabnya, al Mualalah Al Maliyah mengatakan
bahwasanya tidak diperbolehkan meminjamkan budak muslim kepada orang kafir
serta melarang meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang nantinya dimanfaatkan
oleh peminjam sebagai sarana kemaksiyatan.
6. Status
Aqad “Ariyah
Apabila aqad al-‘ariyah telah memenuhi rukun dan syaratnya, bagaimana status
hukum aqad itu ? apakah boleh aqad itu dibatalkan secara sepihak oleh pemilik
barang ? dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ulama’. Ulama’
Hanafiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu
sifatnya tida mengikat bagi kedua belah pihak. Artinya, pihak pemilik barnag
boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam juga
boleh mengembalikan barang itu kapan saja ia kehendaki tanpa membedakan apakah
peminjam itu bersifat mutlak atau bersifat terbatas, kecuali jika pembatalan
aqad itu membawa madharat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan
mayat. Dalam hal ini pemilik barang tidak dapat menuntut pemulangan tanah itu
dengan membongkar mayat dan memindahkannya ke tempat lain. Satu-satunya jalan
keluar yang boleh ditempuh dalam kasus seperti itu, menurut mereka, adalah
menunggu sampai mayat itu habis ditelan tanah, baulah pemilik tanah dapat
memanfaatkan tanah miliknya itu.
Menurut Malikiyah berpendapat bahwa
pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya itu sebelum
dimanfaatkan oleh peminjamnya. Apabila aqad al-‘ariyah
itu memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang itu tidak dapat
meminta kembali barangya itu sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo.
Akan tetapi, dikalangan Ulama’ Malikiyah sendiri ada pendapat yang membolehkan
pemiik barang mengambil barangnya kembali, jika aqad al-‘ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.
7. Sifat
Aqad Al-‘Ariyah
Disepakati oleh para ulama’ fiqih
bahwa aqad al-‘ariyah itu bersifat
tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah aqad al-‘ariyah itu bersifat amanah ditangn peminjam sehingga ia tidak
boleh dituntut ganti rugi setelah barang itu rusak, terdapat perbedaan pendapat
diantara mereka.
a.
Menurut ulama’ Hanafiyah al-‘ariyah ditangan peminjam bersifat
amanah. Menurut mereka , peminjam tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan
barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan
barang itu. Akan tetapi, apabila kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian
peminjam dalam memelihara amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi.
Aqad al-‘ariyah
yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi aqad yang dikenakan ganti
rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
1.
Barang itu sengaja dirusak atau
dimusnahkan.
2.
Barang itu disewakan atau tidak
dipelihara sama sekali.
3.
Pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku atau tidak sesuai syarat yang disepakati
pada berlangsungnya aqad
4.
Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu
yang berbeda dengan syarat yang ditentukan saat aqad.
b.
Menurut Hanabilah berpendapat bahwa al-‘ariyah adalah aqad yang mempunyai
resiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam atau disebabkan hal-hal
lain.
c.
Menurut ulama’ Malikiyah menyatakn
apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin
emas, dan kalung mutiara, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau
hancur, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi.
Selanjutnya, apabila barang itu rusak ketika dimanfaatkan, tapi barang itu
tidak bisa disembunyikan, seperti rumah dan tanah, maka tidak dikenakan ganti
rugi atas kerusakan itu.
d.
Menurut ulama’ Syafi’iyah apabila
kerusakan itu disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka
peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh
orang lain.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Aqad ‘Ariyah, yang sering kita sebut dengan pinjam-meminjam telah muncul
sejak adanya kehidupan. Mustahil jika suatu kehidupan di masyarakat tanpa
terjadi ‘ariyah, karena pada dasarnya manusia hidup dengan kemampuan ekonomi
yang berbeda. Suatu aqad pinjam meminjam bernilai ibadah di sisi Rabb jika
memenuhi aturan yang telah di tetapkan-Nya dan sesuai dengan ajaran yang dibawa
oleh utusan-Nya di muka bumi.
Dari paparan yang telah penulis
dapat kita tarik lebih mendalam bagaimana inti pengertian ‘ariyah, dasar hukum yang berdasar pada Al-Kitab dan Al-Sunnah,
hukum dari pada ‘ariyah, rukun dan
syarat, serta status dan sifatnya. Sekaligus terdapat perbedaan Ulama fiqh
menyikapi masalah-masalah yang terjadi sebagaimana yang telah penulis paparkan.
2. Kritik
Tiada manusia yang sempurna selain
utusan-Nya di muka bumi ini. Ungkapan
inilah yang paling fenomenal di kalangan kita semua, sehingga andaikata paparan
penulis yang telah diapresiasikan dalam bentuk makalah ini terdapat suatu hal
yang belum sempurna di mata pembaca, kritik para pembaca akan senantiasa
penulis dengar demi membangun sebuah karya tulis yang lebih baik sampai
nantinya mencapai pada tingkatan sempurna.
3. Saran
Demi menegakkan suatu hukum yang
bijak serta bersih, harus di mulai dari siapa yang melakukan tindak hukum
tersebut. Selayaknya kita harus menjunjung tinggi hukum yang berlaku bagi kita
dengan dimulai dari hal yang berruang lingkup pada diri kita sendiri sampai
pada hal yang ruang lingkupnya terhadap semua kalangan. Dari hal yang ruang
lingkup pribadi dapat kita aplikasikan pada pembahasan yang penulis paparkan
diatas, ‘ariyah.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Qal’ahji, Muhammad Rawwas. 1999. Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra.Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
2.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
3.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media
Pratama
4.
Ayyub, Hasan. 2006. Al Muamalah Al Maliyah. Iskandaria : Dar Al Salam
Langganan:
Komentar (Atom)








